Monday, November 26, 2007

Solusi Kemacetan Jakarta

Jakarta dengan 8.792.000 penduduknya (data 2004) akan bertambah menjadi 17 juta penduduk pada saat jam kerja dimulai, banyak pekerja dari kota - kota pinggiran Jakarta seperti Bogor, Tagerang, Bekasi, dan Depok berlomba memasuki ibukota setiap pagi, dengan mengunakan semua moda trasportasi yang ada.

Bertambahnya jumlah pemilik kendaraan dan tidak bertambahnya kapasitas dan panjang jalan yang ada di sinyalir berkontribusi yang signifikan terhadap kemacetan. Saat ini saja jumlah kendaraan bernomor polisi B (Jakarta) berjumlah 6.506.244 unit dan 1.464.626 unit di antaranya merupakan jenis mobil berpenumpang (data tahun 2003), dan berdasarkan data dari pusat data tempo setiap harinya terdapat 138 pemohon STNK baru di Jakarta, dimana seharusnya diimbangi dengan bertambahnya jumlah panjang jalan sepanjang 800 meter setiap harinya.

Solusi kemacaetan kota Jakarta sudah sejak lama di pikirkan terutama menjelang tahun 2014 yang apabila pertumbuhan jumlah kendaraan tidak di imbangi dengan bertambahnya panjang jalan maka akan terjadi stagnasi pada tahun 2014. Solusi yang di usulkan juga tidak kalah bagusnya mulai dari pembangunan monorail, subway, busway, pembatasan jumlah pemilik kendaraan, zona 3 in 1, plat nomor polisi ganjil / genap, sampai moda trasportasi sungai, kendalanya dari semua usulan ini selain masalah kurang konsistennya kebijakan, ketegasan aparat, dan juga masalah pendanaan sehingga solusi kemacetan Jakarta ini dirasakan seperti jalan ditempat.

Saat ini dibutuhkan ketegasan dan keberanian pemimpin pemerintahan untuk mengambil sikap menjadi populis atau tidak populis demi solusi kemacetan yang harus segera teratasi. Karena kemacetan di Jakarta menghabiskan sumber daya yang besar dan terbuang percuma sampai 17 Trilliun rupiah per tahunnya, selain dampak sosialnya yang bekepanjangan dengan membuat tingkat kecerdasan dan kesehatan masyarakat Jakarta menjadi menurun akibat gas buang kendaraan bermotor.

Solusi yang segera harus dilakukan adalah melakukan kebijakan pengenaan “Pajak Kemacetan” yang besarnya sebesar Rp.10.000,- per hari atau Rp.250.000,-/ bulan bagi setiap pemilik kendaraan ber plat nomor B dan mengenakan “Pajak Oprasional” kendaraan berplat nomor daerah yang digunakan untuk oprasional di kota Jakarta setiap hari, yang besarnya sama dengan pajak kemacetan.

Potensi penerimaan pajak kemacetan dan orasional adalah 5.041.618 unit kendaraan pribadi x Rp.10.000,- x 25 hari kerja + (25% jumlah kendaraan pribadi berplat daerah x Rp.25.000) = 1.260.404.500.000,- + 315.101.130.000 = 1.575.505.600.000,- per bulan. Atau Rp.18 triliun per tahun, ini hamper sama dengan APBD Jakarta yang besarnya Rp. 20 trilliun, apabila dana sebesar ini digunakan untuk membangun jaringan trasportasi kota Jakarta maka kemacetan trasportasi di Jakarta akan segera teratasi, dan dana APBD yang ada dapat dioptimalkan untuk dipergunakan di sector yang lainnya yang juga perlu diperhatikan.

Semoga Gubernur dan wakil guberbur Jakarta berani mengambil kebijakan tidak populis ini, demi kemaslahatan kita bersama.

Sunday, November 25, 2007

Sabot (Alas kaki) Sabotase

Kita tahu di dunia persandalan sabot dan kelom adalah identik, orang sunda menyebut alas kaki yang terbuat dari kayu nangka dengan sebutan kelom atau bakiak. Orang Belanda yang negaranya berada di bawah air sehingga membutuhkan alas kaki yang anti rusak, tahan lama dan cukup kuat untuk digunakan di daerah berair/becek, salju dan tanah, makanya orang belanda menciptakan sebuah sandal dari kayu yang disebutnya Sabot.


Lantas kenapa dari kata Sabot ini menjadi terkenal dan mendunia, padahal asal kata tersebut memiliki arti sebuah produk untuk digunakan sebagai alas kaki. Kita tahu “pada jaman Revolusi Industri” sejak ditemukannya mesin-mesin tekstil, industri tekstil sangat maju di Eropa Barat terutama Inggris dan France, kapasitas di optimalkan, harga di tekan semakin murah karena metoda prosuksinya yang telah mengunakan otomatisasi kerja. Sampai lahir lah gerakan kaum buruh yang meminta kenaikan upah buruh karena terlalu kecil.


Para pemilik mesin / kaum kapitalis tentu saja sangat tidak suka dengan tuntutan para buruh, maka timbulah perlawanan dari kaum buruh agar tuntutan mereka dipenuhi. Apa yang mereka lakukan sebagai bentuk perlawanan kepada pemilik mesin adalah dengan melakukan tindakan pengrusakan terhadap mesin-mesin tekstil tersebut yaitu memasukan Sabot (sandal orang Belanda) kedalam mesin sehingga mesin tersebut sehingga mangalami kerusakan dan kemacetan. Akibatnya kaum kapitalis ‘meradang’ karena banyak mesin yang rusak dan tidak dapat berproduksi sementara upah buruh harus tetap dibayarkan.


Tindakan pengrusakan mesin mesin tekstil ini oleh kaum buruh dengan memasukan Sabot ke dalamnya yang kita kenal sekarang ini dengan kata Sabotase.